BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis, dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Dalam bahasa terdapat subsistem fonologi, gramatika, dan leksikon yaitu dunia bunyi dan dunia makna yang bertemu dan membentuk struktur. Di antara keduanya itu terdapatlah konteks yang mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Konteks adalah unsur di luar bahasa yang kemudian dikaji dalam pragmatik. Pragmatik adalah studi baru dalam ilmu bahasa di dunia termasuk Indonesia. Namun, perkembangannya sangat pesat. Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat bahasa yang dapat dimengerti melalui linguistik, agar bahasa dapat digunakan dalam komunikasi. Linguistik adalah studi yang jangkauannya semakin meluas sehingga menyebabkan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik juga berubah dan semakin meluas. Banyak pemikir pragmatik bermunculan bersama karyanya, membawa pengetahuan dan perkembangan baru bagi studi yang dapat dikatakan baru seumur jagung ini.
Pragmatik mengacu pada dua bidang, yaitu: pragmatik linguistik dan pragmatik nonlinguistik. Yang pertama itu adalah bagian yang berada di dalam kajian disiplin linguistik dan yang kedua merupakan bagian kajian sosiologi, psikologi, etnometodologi, dan telaah kesusastraan. (dalam Sumarsono :2007: 2). Pragmatik merupakan disiplin baru dalam kajian bahasa. Berbeda dengan kajian bahasa sebelumnya yang cenderung formalis; analisis bahasa lebih banyak ditekankan pada analisis struktur bahasa dan elemen-elemen bahasa secara mandiri. Pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa, yaitu bagaimna bahasa digunakan oleh penutur bahasa di dalam situasi interaksi yang sebenar.
Pragmatik berkaitan dengan bagaimana masyarakat bahasa (speech community) menggunakan bahasa mereka; bagaimana percakapan diungkapkan di dalam sustu peristiwa tutur, yakni apakah secara langsung atau tidak, strategi bertutur mana yang dipilih, apakah maksud penutur disampaikan secara tersurat atau tersirat. Penggunaan bahasa yang demikian sangat dipengaruhi oleh kondisi pragmatik. Kondisi pragmatik terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Satuan unit analisis dalam kajian pragmatik adalah ujaran. Dengan demikian, kajian pragmatik mencakup kajian bahasa sebelumnya. Pragmatik tidak dapat lepas dari kajian sintaksis, misalnya, karena makna tidak dapat lepas dari gramatika dan tidak lepas dari kajian semantik makna ujaran tidak akan penah bisa lepas dari makna per kata yang membangun sebuah ujaran. Ujaran juga tidak bisa dilepaskan dari konteks percakapan yang dilatar belakangi budaya yang beragam dari penuturnya. Dengan demikian kajian pragmatik bisa dilihat kajian bahasa yang lebih utuh. Untuk lebih jauhnya mengetahui sejarah perkembangan pragmatik akan dipaparkan di dalam pembahasan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan pragmatik?
2. Bagaimanakah hakikat pragmatik ?
3. Bagaimanakah hubungan pragmatik dengan linguistik struktural ?
4. Bagaimanakah hubungan pragmatik dengan sosiolinguistik ?
5. Bagaimanakah hubungan pragmatik dengan semantik ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sebagai berikut.
1. Mengetahui sejarah perkembangan pragmatik.
2. Mengetahui hakikat pragmatik.
3. Mengetahui hubungan pragmatik dengan linguistik struktural.
4. Mengetahui hubungan pragmatik dengan sosiolinguistik.
5. Mengetahui hubungan pragmatik dengan semantik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Pragmatik
Istilah pramatik berasal dari CHARLES MORRIS (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filosof pendahuluannya yaitu ( JHON LOCK dan CHARLES PEIRCE ) tentang semiotik ( ilmu tentang tanda atau lambang ). Tanda dan lambang ada yang bukan berupa bahasa (nonlinguistic) dan ada yang berupa bahasa (linguistic). Tanda bukan bahasa (nonlinguistic) berupa Tanda lampu merah di perempatan jalan adalah tanda yang melambangkan perintah bagi pengendara kendaraan agar memberhentikan kendaraannya, bunyi sirene adalah lambang bagi lewatnya ambulans atau polisi. Pasfoto adalah lambang diri seseorang sedangkan tanda berupa bahasa (linguistic) dapat di bagi menjadi menjadi tiga meliputi (1) Sintaksis mempelajari hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Misalnya, kursi dihubungkan dengan kata saya bisa menjadi kursi saya, tetapi tidak bisa menjadi saya kursi. Hubungan ini di dalam sistem bahasa Indonesia merupakan hubungan kepemilikan. Dan hubungan ini dapat kita teruskan dengan tanda atau kata-kata lain, menjadi kalimat yang panjang. Misalnya kursi saya putih.(2) Semantik mempelajari hubungan antara kata dengan objek (benda,peristiwa, keadaan) yang diacu oleh kata itu. Misalnya, kata kursi mengacu kepada suatu benda, kata saya mengacu kepada orang yang sedang berbicara. Jadi “objek yang diacu” itu hakikatnya adalah makna semantik dari kata-kata yang mengacunya. Kemudian dapat dikatakan, kursi saya mengacu kepada “kursi milik saya”. (3). Pragmatik mempelajari hubungan antara tanda dengan penggunaannya. Misalnya, kursi saya putih, yang secara semantik bermakna kursi milik saya berwarna putih. Digunakan atau diujarkan ketika seorang penutur berujar kepada seorang tetangganya tentang warna kursi. Ujaran itu mungkin dimaksudkan untuk memberitahukan kepada tetangganya bahwa warna kursinya berbeda dengan warna kursi (yang tidak putih) milik tetangganya itu.
Sejalan dengan itu,maka sejarah perkembangan pragmatic dapat ditelusuri dari keberadaan kajian bahasa secara structural, yaitu berawal dari kajian linguistic pada tahun 1933 yang ditandai terbitnya buku berjudul linguistic karangan Leornard Bloomfield. Kiblat linguistic mulai berubah pada tahun 1970 yang dipengaruhi oleh pemikir seperti Jhon Langsaw Austin (1962), H.P Grace (1964), dan John R.searle (1969), ynag banyak berbicara tentang bahasa dan filsafat bahasa. Mereka mengemukakan dan mengembangkan teori tindak tutur menjadi awal melihat fungsi bahasa dan penggunaan bahasa. Sehingga kajian yang tadinya bersifat formal menjadi kajian yang fungsional. Tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi menyatakan tindakan. Karena menyatakan tindakan, tuturan itu disebut tindak tutur yang mempunyai fungsi atau maksud dan tujuan tertentu. Untuk mengungkap tindak tutur diperlukan pemahaman makna dan maksud tuturan dalam konteks interaksi. Sehingga kajian tentang pragmatic dipelajari karena pragmatic merupakan studi kebahasaan yang mempelajari makna dan situasi tutur atau situasi pengguna bahasa. Oleh karena itu kajian pragmatic sulit dilepaskan dengan kajaian tindak tutur.
Secara resmi kelahiran pragmatic ditandai oleh lahirnya sebuah jurnal pragmatic (1977). Terbentuk pula organisasi yang menangani pragmatic (sumarsono,1988). Ada pula yang mengatakan bahwa kajian pragmatic muncul sebagai reaksi kajian linguistic yang dilakukan oleh Chomsky. Dengan diterimanya pragmatic sebagai ilmu tersendiri, maka sosok pragmatic yang diperkenalkan oleh Charles Morris (1938) mulai berkembang dan diakui sebagai bagian ilmu bahasa. Dalam perkembangan tersebut linguistic mempunyai beberapa cabang yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, dan pragmatic. Leech (1983) menyatakan bahwa fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic merupakan bagaian dari tata bahasa gramatika, sedanggkan pragmatic merupakan bagaian dari pemakaian dan penggunaan dalam aktivitas komunikasi sesungguhnya. Selanjutnya pragmatic berintegrasi dengan tata bahsa atau gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis melalui sosok semantic atau ilmu makna.
Gambar interaksi cabang-cabang linguistic yang tergolong dalam gramatika dengan pragmatic menurut Leech (1983) sebagai berikut.
Fonologi |
Morfologi |
Sintaksis |
Semantik |


Pragmatik |
2.2 Hakikat Pragmatik
Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat- kalimat itu.
Pragmatik dapat dibedakan menjadi dua hal yakni :
1. Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi dalam bahasa.
2. Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar, pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek- aspek proses komunikatif.
Menurut Noss dan Llamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakekatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.
Yule menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji makna yang dikomunikasikan atau ter komunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
2.3 Hubungan Prgamatik dengan Linguistik Struktural
Kajian linguistik struktural (atau disebut linguitik begitu saja) lebih menekankan segi struktur dan bentuk bahasa ketimbang makna. Linguistik struktural, khususnya sintaksis, bergerak di wilayah bahasa, sedangkan pragmatik bergerak di wilayah tutur. Satuan kajian linguistik, dan juga semantik, adalah kalimat (sentence), sedangkan satuan kajian pragmatik ialah ujaran (utterance). Bisa jadi, pragmatik dan linguistik atau sintaksis mempunyai kesamaan objek kajian, yaitu kalimat, tetapi sudut pandangnya berbeda. Dalam pelajaran sintaksis, misalnya kalimat ”Bisa mengantar surat ini?” dikaji, maka kalimat itu dipandang sebagai kalimat yang berdiri sendiri, lepas dari konteks-nya. Kalimat yang dijadikan contoh biasanya diambilkan kalimat yang ”baku”, sesuai dengan kaidah tata bahasanya, baik strukturnya maupun pilihan kata-katanya. Karena itu tidak mungkin dicontohkan kalimat seperti, ”Bisa antar ini surat?”
Yang pertama dilihat oleh sintaksis adalah bentuk atau form-nya (terdiri dari kata ini dan kata itu), lalu dikatakan bahwa bentuknya adalah kalimat tanya, yang strukturnya yang berbeda dengan kalimat berita, subjeknya tidak disebutkan sehingga menjadi kalimat yang tidak lengkap, dan seterusnya. Kalau kita membicarakan makna atau semantiknya, maka dikatakan bahwa kalimat itu bermakna ”(seoran penutur) menyatakan kepada seseorang apakah orang itu mampu (atau tidak mampu) melakukan pekerjaan mengantarkan surat ”. Analisis linguistik atau sintaksis atau gramatikal jadinya bersifat struktural dan formal.
Pragmatik menganalisis fungsi kalimat dalam kamunikasi, dan ”kalimat” itu harus kita anggap sebagai ”ujaran”. Dari segi fungsi, kalimat yang dicontohkan di atas sebenarnya bukan bertanya melainkan menyuruh, meskipun bentuknya kalimat tanya (introgratif). Untuk fungsi perintah (imperatif) atau suruhan orang bisa memakai kalimat pertama atau kedua bergantung kepada konteks-nya, misalnya, akan ditemukan siapa yang mengajurkan dan kepada siapa kalimat itu diujarkan. Bagi analisisnya sintaksis, konteks penggunaan kalimat seperti yang dipaparkan tadi tidak pernah diperhatikan. Perlu dicatat bahwa pragmatik tidak hanya mengkaji ujaran (kalimat) melainkan lebih dari itu. Tentu saja pragmatik tetap masih harus memperhatikan bentuk dan struktur kalimat, tetapi fokus kajianya tidak terletak di situ. Yang dikaji pragmatik bukan bentuk (struktur) dan makna kalimat tetapi fungsi dan maksud ujaran dalam suatu konteks tertentu.
2.4 Hubungan Pragmatik dengan Sosiolinguistik
Dari sejumlah kelahirannya, sosiolingustik lebih dahulu mapan, sekitar 1960, dibandingkan dengan pragmatik. Sosiolinguistik ialah kajian bahasa yang dikaitkan dengan faktor-faktor atau gejala-gejala sosial dari penggunaan bahasa. Dari segi semangat, kedua kajian itu sama, yakni sama-sama menjadi pendobrak lingustik struktural yang dirumuskan oleh Chomsky. Teori Chomsky, sebagaimana dikatakan di depan, tetap dipandang berwatak struktural karena dia juga berbicara tentang struktur kalimat. Hanya saja, teori linguistik ini mengabstrakkan kalimat (menjadi rumus-rumus dalam benak manusia). Data kajianya berupa kalimat yang diidealkan, artinya kalimat yang dianalisis dipersyaratkan harus sempurna, bebas dan kesalahan gramatika (sebagaimana yang dikuasai oleh orang dewasa). Semua kalimat yang terujarkan, apa pun bentuknya, dapat dikembalikan kepada satu rumusan struktur kalimat, yakni FB + FK. Semua bahasa dianggapan mempunyai kalimat dengan struktur seperti itu. Penghomogenan inilah yang sangat ditentang oleh para pakar bahasa, seperti Dell Hymes, yang memandang bahasa bukan sekedar sebagai produk mental (sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky), melainkan juga sebagai produk sosial, sebagai alat komunikasi sosial, dan memandang bahasa itu hakikatnya heterogen, beragam, bervariasi, karena penggunaan dan penggunaan bahasa juga beragam. Bagi sosiolinguitik, tidak ada bahasa yang monolitik, yang tunggal, melainkan bervariasi, bahkan sosiolinguistik itu justru muncul karena adanya variasi atau keragaman bahasa. Bahasa A beragam secara geografis karena sekelompok penutur bahasa itu tinggal di daerah X dan sekelompok lainya di daerah Y. Bahasa A itu beragam karena secara sosial penuturnya berbeda-beda sesuai dengan status sosianlnya (sehingga ada ragam bahasa pengusaha dan rakyat jelata), jenis kelaminya (sehingga ada ragam bahasa wanita dan ragam bahasa pria), atau profesi atau lapangan hidupnya (sehingga ada ragam bahasa petani, ragam bahasa pedagang, buruh, dsb.).
Bahkan tiap-tiap individu penutur memiliki khasanah ragam tutur atau gaya tutur yang bermacam-macam untuk berbagai maksud dan tujuan; misalnya, untuk berkirim surat secara pribadi, untuk berpidato, berbicara dengan anggota keluarga, dengan pejabat, dsb. Dalam ragam tutur itulah dirasakan dekatnya hubungan antara sosiolinguistik dan pragmatik. Kedekatan hubungan itu juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan budaya pengguna bahasa. Kita tahu bahwa sosiolinguitik tidak dapat lepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa begitu pula pragmatik. Pragmatik misalnya, mengkaji ihwal sopan santun dalam bertutur. Kita dapat menyusun sekian banyak ujaran mulai dari yang paling sopan. Tetapi, urutan itu tentu tidak sama dari bangsa ke bangsa dan dari suku ke suku, karena hal itu berkaitan dengan segi budaya.
Pragmatik sendiri menentang teori Chomsky karena dia melepaskan konteks dari kalimat ujaran, padahal kalimat (dalam arti ”ujaran”) itu ada karena digunakan dalam suatu komunikasi, dalam suatu situasi tutur, seperti pesta, upacara keagamaan, obrolan di tempat kerja, sidang pengadilan, dsb. Dalam situasi tutur seperti pesta perkawinan, misalnya, terjadi sejumlah peristiwa tutur, seperti ada sambutan, percakapan, dsb. Tutur semacam itu tentu melibatkan penutur, topik, lokal, suasana, dsb. Komponen-komponen ini berpengaruh terhadap bentuk bahasa apa yang digunakan. Dalam hal semacam itu sosiolingustik juga ikut berkepentingan untuk mengkaji.
Dalam batas tertentu objek kajian sosiolingustik dan pragmatik memang sama. Misalnya, percakapan. Dalam sebuah percakapan antara penutur (A) dan petutur (B) tentang topik harga BBM di tempat kerja, mungkin keduanya menggunakan bahasa daerah; tetapi begitu datang C percakapan berubah menggunakan bahasa Indonesia karena C tidak mampu berbahasa daerah; suasana yang tadinya akrab berubah menjadi agak formal. Sosiolinguitik mungkin melihat perubahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia mempunyai makna sosial tertentu sebagaimana dikemungkinan tadi, yakni mengubah suasana akrab menjadi suasana lebih formal.
2.5 Hubungan Pragmatik dan Semantik
Semantik adalah kajian tentang makna, apakah itu makna kata (biasa disebut semantik leksikal), makna frasa (disebut semantik frasa) atau kalimat (disebut semantik sintaksis). Persinggungannya dengan pragmatik sudah terlihat pada penjelasan semiotik Morris (1.1), khususnya menyangkut semantik kalimat. Tetapi batas keduanya terasa tidak begitu jelas, karena keduanya sama-sama menjelajahi makna.
Contoh Kalimat
1. Kalimat Ambigu
a. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya.
b. Menerbangkan pesawat adalah tindakan berbahaya
c. Pesawat yang terbang itu berbahaya
Kalimat (b) dan (c) tidak ambigu, tetepi kalimat (a) terasa ambigu dan maknanya bisa sama dengan (b) dan (c).
2. Kalimat (d) dan (e) berikut dapat dikaitkan bersinonim:
d. Saya menerbangkan pesawat
e. Pesawat itu saya terbangkan
Kalimat aktif dan pasif biasanya memang bersinonim. Kalaupun lingustik stuktural, atau sintesis, membahasnya, maka ketertarikannya bukan terletak kepada kesinoniman melainkan kepada perbedaan stuktur atau bentuknya. Kalaupun semantic membahas kesinoniman itu, maka yang dibahas kesinoniman dari makna lugasnya. Tetapi, semantik pasti tidak mempersoalkan, misalnya mengapa penutur menggunakan kata saya dan bukan aku atau hamba.
Pragmatik tidak mengenal adanya pengertiaan ambigu atau taksa dan sinonim. Bagi pragmatik, tidak ada kalimat yang ambigu, tidak ada dua kalimat yang bersinonim, kalau (dan karena) tiap kalimat itu selalu harus dikaitkan dengan konteks.
Kalimat (a) tidak ambigu kalau dikatkan dengan konteks dalam cakapan berikut ini.
A:” Kamu kan baru belajar teori bagaimana caranya menerbangkan pesawat terbang”
B:” Tapi saya ingin mencobanya, Pak pesawat sudah dites. Bagus.”
A:” Saya tahu kondisimu. Kau lupa satu hal. Menerbangkan pesawat itu bisa berbahaya. Pesawatnya memang tidak membahayakan kamu, tetepi kamu justru membahayakan pesawat”.
Bandingkan pula konteks cakupan dari masing-masing kalimat (d) dan (e) berikut ini.
A:” Apa yang kau lakukan besok?
B:” Saya menerbangkan pesawat.”
Dan
H:” Kamu apakan pesawat itu? Apa yang terjadi?
I:” Pesawat itu saya terbangkan. Baru beberapa menit, baling-balingnya terasa kurang bebas, lalu saya turunkan.”
Begitu pula bagi semantik, (f) dan (g) dianggap sinonim:
(f) “ Kau apakan pesawat itu?”
(g) “ Saudara apakan pesawat itu?”
Analisis kajian pragmatik dari kedua kalimat diatas maknyanya memang sama kata saudara dan kau dalam kedua kalimat itu juga sama maknanya. Namun, masih tetep ada bedanya. Pragmatik akan memperhatikan juga “siapa mengujarkan kalimat itu” dan” kepada siapa ujarkan itu digunakan”. Artinya, pragmatik memperhitungkan bukan hanya kalimat itu saja melainkan juga penutur dan petuturnya (yaitu lawan tutura) karena keduanya termasuk unsure konteks.
Pragmatik mungkin mengambil simpulan bahwa kalimat (f) diujarkan oleh seseorang petutur yang cukup akrab dengan petuturnya, atau posisi petutur lebih tinggi daripada petuturnya. Tetapi, dalam kalimat (g) hubungan petutur dan petutur agak formal (resmi), misalnya antar instruktur.
Jika ada orang mengatakan bahwa semantik itu mengkaji makna sedangkan pragmatik mengkaji maksud, bahwa ada yang menyebut pragmatik sebagai ilmu maksud. Maksud itu dapat ditentukan berdasarkan situasi ketika ujaran itu terjadi. Berdasarkan hal itulah, maka Leech memberi batasan pragmatik sebagai “studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur”.
Ada beberrrapa petikan pendapat Leech (1983) yang mengajukan beberapa patokan sebagai berikut ini.
1. Representasi semantik (atau bentuk logam) suatu kalimat berbeda dengan interaksi pragmatiknya
Maksudnya, dipandang dari sudut kaidah tatabahasa, sebagai kalimat merupakan bentuk logia, dan bentuk ini merepresentasikan (mewakili) makna yang dikandungnya. Makna, sebagaimana yang diatur oleh kaidah tatabahasa itu tidak (selalu) sama dengan tafsiran (interpretasi) pragmatiknya.
Contoh:
Secara tatabahasa kalimat “Kamu dari Tabanan, ya?”kira-kira bermakna, apakah kamu berasal dari desa Tabanan. Tetapi, menurut pragmatik, kalimat itu dapat ditafsirkan berdasarkan dari makna tersebut,disesuaikan dengan maksud penutur (pembicara). Tafsiran itu dapat berupa petutur (A) dan (B) tahu betul bahwa desa Tabanan adalah desa yang kering kerontang dan masyarakatnya amat miskin, siswa-siswa yang berasal dari desa itu sering diolok-olok sebagai orang yang “ tidak cakap” tidak pandai, dsb Karena itu kalimat yang ditafsirkan A tadi ditafsirkan oleh B sebagai siniran. A, menurut pikiran B, pasti menyinir B. Si A bukan sekedar bertanya “Apakah kamu berasal dari Tabanan?”melainkan juga menyindir, “Pantas kamu bodoh.”
2. Semantik diatur oleh kaidah tatabahasa (= bersifat gramatikal), pragmatik dikendalikan oleh prinsip(=retoris)
Semantik atau makna dari sebuah kalimat ditentukan oleh kaidah tatabahasa.
Contoh:
Kalimat aktif “Menteri malaporkan bencana alam itu kepada Presiden.”Jika ditafsirkan herus berbentuk “bencana alam itu dilaporkan Menteri kepada Presiden.” Itu kaidah yang harus dituruti.
Surat kabar juga bisa membuat judul berita secara ringkas, dengan prinsip “ekonomi” dan prinsip retorik (dalam memilih kata-kata). Dengan prinsip retorik itu wartawan dapat menulis kalimat-kalimat pasif tanpa harus melanggar kaidah.
Kalimat pasif tadi dapat diringkas menjadi ”Bencana alam itu dilaporkan kepada Presiden” Tetapi, dapat saja berbentuk lain (pasif atau bukan) “Presiden laporkan tentang bencana alam”, “Bencana alam disampaikan ke istana”, ”Menteri melapor ke Presiden” dll. Makna kalimat-kalimat tersebut, menurut tatabahasa kira-kira sama, tetapi dari segi pragmatik, masing-masing mempunyai nilai berita yang berbeda-beda ada yang mementingkan Presiden (karena itu diletakkan di depan kalimat), ada yang mementingkan bencana alam,dll.
3. Kaidah-kaidah tatabahasa pada dasarnya bersifat konvensional; prinsip-prinsip pragmatik pada dasarnya bersifat nonkovensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
Kaidah tatabahasa, termasuk kaidah semantik, bersifat konvensional, artinya berdasarkan kesapakatan seluruh pengguna bahasa sejak masa lampau ketika masyarakat bahasa itu menentukan atau membangun bahasanya.
Contoh:
Manusia yang dapat melahirkan disebut perempuan, tanpa ada penjelasan mengapa demikian, atau apa motivasinya sehingga masyarakat membentuk kata itu. (Berbeda dengan kata pemain, yang secara marfologis dimotivasi oleh penggabungan antara pe + main; kata mobil, yang bermakna ‘bergerak’ dipakai untuk mengacu benda yang dapat bergerak karena dimotivasi secara semantis). Oleh Leech, itu disebut kekonvensionalan mutlak. Disamping itu ada kekonvensionalan termotivasi, yaitu kekonvensionalan yang menunjukkan adanya sedikit motivasi. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan seperti “Syukur!” yang bermakna serupa dengan “Syukur kamu berhasil!” ditujukan bagi orang yang berhasil. Ini konvensional. Tidak mungkin ungkapan itu untuk mereka yang tidak berhasil. Jadi makna kalimat itu dikatakan konvensional jika makna tersebut dapat disimpulkan oleh kaidah tatabahasa. Namun, karena alasan-alasan tertentu, atau karena adanya motivasi tertentu, maka dapat saja muncul ujaran, seperti “Syukur kamu tidak terpilih jadi lurah!”. Ini bukan fakta semantik, sebagaimana dicontohkan di atas, melainkan fakta pragmatik. Ini juga nonkonvensional karena ungkapan syukur ditujukan kepada orang yang tidak berhasil.
4. Pragmatik mengaitkan makna (atau arti gramatikal) suatu ujaran dengan daya pragmatik ujaran tersebut. Sudah kita maklumi bahwa, menurut kaidah, maka sebuah kalimat dapat direpresentasikan atau dijelaskan menurut bentuk formalnya. Pragmatik harus menjelaskan kaitan antara kedua makna, yaitu antara makna sebenarnya dengan apa yang disebut daya yang disebut daya ilokusi. Daya itu harus dijelaskan malalui implikatur. Untuk sementara dapat dikaitkan secara mudah, sebagaimana dicontohkan pada patokan, bahwa implikatur itu adalah maksud yang ada di balik bentuk bahasa yang diujarkan. Sebagai ujaran yang diujarkan oleh penutur (N) bisa jadi terasa mengandung “beberapa tafsiran” di mata pendengar atau petutur (P).
5. Korespondensi-korespondensi gramatikal ditentukan oleh (ditunjukkan dengan) kaidah-kaidah pemetan; koresponden-koresponden pragmatik ditujukan dengan masalah-masalah dan pemecahannya. Kaiah gramatika suatu bahasa biasanya sudah ”dipetakan” secara pasti sehingga suatu penyimpangan yang dilakukan oleh N segera dapat diketahui.
Misalnya
Kalimat harus mempunyai subjek (yang terletak di depan) yang berkoresprodensi dengan predikat. Karena itu juga dalam bahasa Indonesia kita dapat berujar “Wah, hujan”. Begitu juga dalam bahasa Inggris. Begitu pula korespondensi atau hubungan antara makna dan bunyi jika bunyinya begini maknanya begitu atau jika ingin makna demikian, maka bunyinya harus demikian.
Korespondensi pragmatik ditujukan dengan masalah, yaitu masalah antara N dan T, berikut pemecahannya. Menurut Leech bagi N masalahnya ialah perencanaan jika saya ingin agar T melakukan atau tidak melakukan tindak X, apa yang harus saya ujarkan sehingga tujuan atau maksud saya berhasil. Dalam keadaan seperti itu N juga berpikir kata-kata apa yang saya pilih, bentuk kalimat apa, panjang pendeknya seperti apa,dst. Sebaliknya, bagi T, masalahnya ialah masalah interpretasi: seandainya N mengujarkan ujaran U, apakah alasan N yang paling masuk akal untuk mengucapkan U. Masalah yang harus dipecahkan oleh T ialah masalah komunikasi apakah yang sedang dipecahkan oleh N ketika N mengucapkan U.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal yakni. Pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan penggunanya. Kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari. kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
3.2 Saran
Kami menyadari makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami menyarankan agar pembaca menggunakan buku refrensi lain sebagai tambahan informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar