Minggu, 20 November 2011

Pembakuan Bahasa


Materi  dirangkum dari sejumlah buku, yaitu Sosiolinguistik karya Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik karya Prof.Dr.Sumarsono, M.Ed dan Drs.Paina Partana, M.Hum, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Karya Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=21&row=.
PEMBAKUAN BAHASA
Salah satu bahasa dari sejumlah bahasa yang berkembang dalam suatu negara dapat dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi dari negara bersangkutan. Proses pemilihan suatu bahasa di antara ragam bahasa yang ada untuk menjadi bahasa resmi dengan berbagai usaha pembinaan dan pengembangan tanpa henti dikenal dengan istilah pembakuan bahasa atau standardisasi bahasa. Menurut J.S. Badudu… yang dimaksud pembakuan atau standardisasi sebenarnya adalah penetapan aturan-aturan atau norma-norma bahasa. Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa (http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=21&row=). Pembakuan bahasa adalah proses pemilihan satu ragam bahasa untuk dijadikan bahasa baku (resmi) kenegaraan, serta usaha pembinaan dan pengembangannya, yang bisa dilakukan terus-menerus. Pembakuan bahasa berarti pemilihan salah satu variasi yang diangkat untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu, dan ditempatkan di atas variasi yang lain. Pembakuan bahasa tidak dimaksudkan untuk mematikan variasi-variasi bahasa nonbaku. Variasi-variasi bahasa nonbaku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya.
Pada intinya pembakuan bahasa adalah proses pemilihan salah satu ragam bahasa menjadi ragam bahasa resmi sebagai tolok ukur (norma) penggunaan bahasa yang baik dan benar dengan usaha dan pengembangan yang tiada henti (selama bahasa itu masih digunakan).  Pembakuan bahasa memiliki fungsi sebagai berikut.
a.  Efesiensi dan efektivitas komunikasi
Bahasa baku memungkinkan adanya komunikasi yang lebih lancar, efektif, dan efisien. Kesatuan dan kesamaan aturan bahasa maupun konsep-konsep bahasa memudahkan untuk saling memahami antaranggota masyarakat pemakai bahasa.
b.  Integrasi masyarakat budaya.
Perbedaan kebudayaan selalu diikuti dengan perbedaan konsep dan kata sehingga sering ada anggapan bahwa kata yang ada dalam suatu bahasa tidak terdapat dalam bahasa lain. Dilihat dari integrasi dalam suatu masyarakat, pembakuan konsep dan kata maupun kesamaan atursan bahasa adalah syarat mutlak.
c.  Pembinaan bahasa nasional
Variasi bahasa nonbaku sangat beragam, tergantung pada pemakai bahasa dan berbagai variasi bahasa yang hidup dalam masyarakat. Biasanya bahasa baku mengatasi keanekaragaman variasi bahasa yang lain. Bahasa baku merupakan pedoman dan pangkal bagi variasi bahasa yang lain.
1.      Bahasa Baku
Bahasa baku merupakan salah satu variasi/ragam bahasa yang dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Kata “baku” berarti tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan (KBBI, 2008: 123). Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku merupakan ragam bahasa yang dijadikan acuan norma bahasa dan penggunaannya, baik secara lisan maupun tulisan.
Bahasa baku adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang ”baik dan benar” dalam komunikasi yang bersiat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Ragam baku adalah ragam bahasa yang sama dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, termasuk dalam pendidikan, dalam buku pelajaran dalam undang-undang, dan sebagainya.
Dari segi bahasa, ragam baku mengacu kepada ragam bahasa “bermutu” yang dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan ragam-ragam lain yang ada dalam bahasa itu. Ragam baku secara linguistik/ kebahasaan adalah dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial. Suatu ragam bahasa menjadi baku karen aprestise sosial (social prestige) tertentu. Sebenarnya, setiap bahasa atau dialek sama-sama terdiri atas bunyi-bunyi yang bersistem yang dihasilkan oleh organ-organ tutur (organ of speech), tetapi masyarakat tuturlah yang menghormati suatu variasi bahasa yang membuat bahasa tersebut menjadi ragam bahasa baku (Sumarsono, 2004: 27).
Penentuan ragam bahasa menjadi bahasa baku ini dapat dikatakan sebagai keputusan  yang bersifat politis, sosial, dan linguistis. Pembakuan bahasa dikatakan sebagai keputusan politis karena keputusan pembakuan bahasa menyangkut strategi politik yang berkaitan dengan kehidupan bangsa dan negara secara nasional pada masa mendatang. Selain itu, pembakuan bahasa juga disebut sebagai keputusan sosial karena ragam bahasa yang dipilih pada awalnya hanya digunakan oleh salah satu kelompok tutur, kemudian akan digunakan sebagai alat komunikasi dalam status sosial yang lebih tinggi (situasi komunikasi resmi kenegaraan). Penetapan bahasa baku juga disebut sebagai keputusan linguistis karena ragam bahasa yang akan ditetapkan menjadi bahasa baku harus mempunyai dan memenuhi persyaratan-persyaratan  lingusitik tertentu. Dari sudut linguistik ragam bahasa yang ditetapkan menjadi bahasa baku mempunyai kepadanan tata bunyi (fonologi), tata bentukan (morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata kata (leksikon).
Ada beberapa pengertian bahasa baku menurut para ahli (Chaer, 1995: 251—252):
a.    Halim (1980) berpendapat bahwa bahasa baku adalah bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian kelompok pemakainya sebagai bahasa resmi dan kerangka rujukan norma bahasa serta penggunaannya. Bahasa baku sebagai kerangka rujukan memiliki norma dan kaidah yang dijadikan tolok ukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa. Sedangkan, bahasa tidak baku adalah bahasa yang tidak dilembagakan dan cenderung menyimpang dari norma bahasa baku.
b.   Dittmar (1976) mendefisikan bahasa baku sebagai ragam ujaran dari satu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atau kepentingan dari berbagai pihak yang dominan dalam masyarakat itu. pengesahan ragam tersebut dilakukandengan mempertimbangkan nilai yang didorong oleh sosiolpolitik. 
c.    Hartman dan Stork (1972) memberikan pengertian bahasa baku sebagai ragam bahasa yang secara sosial lebih sering diinginkan dan dikaitkan pada ujaran pihak-pihak yang berpendidikan baik di dalam maupun di sekitar pusat kebudayaan atau politik masyarakat tersebut.
d.   Pie dan Geynor (1954) mendefinisikan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang istimewa dalam hal sastra dan budaya dibandingkan dengan dialek-dialek lainnya dan disepakati sebagai bahasa yang paling sempurna oleh masyarakat penutur dialek-dialek lain.
Perbedaan bahasa baku dan nonbaku menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosakata dan tata kalimat (Sumarsono, 2004: 33).

2.        Ciri-ciri Bahasa Baku
Fungsi bahasa baku dapat dilaksanakan jika bahasa baku memiliki cir-ciri sebagai berikut (Chaer, 1995: 254—255).
a.       Kemantapan yang dinamis
Bahasa baku memiliki kaidah dan aturan  yang tetap, tetapi luwes/dinamis. Keluwesan tersebut memungkinkan  bahasa baku menerima sistem perubahan dan perkembangan, baik kaidah garamatikal, kosakata, peristilahan maupun berbagai ragam gaya di bidang sintaksis dan semantik. Dengan kata lain, bahasa baku memiliki ciri dinamis yang akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan budaya yang dialami oleh masyarakat penuturnya. Ciri ini dapat dicapai dengan melakukan kodifikasi (pencatatan) terhadap dua aspek bahasa, yakni bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaiannya, dan bahasa yang berkenaan dengan strukturnya sebagai suau sisem komunikasi. Pencatatan pada dua aspek bahasa tersebut akan menghasilkan kumpulan kaidah struktur bahasa yang berisi penjabaran kosakata dan bentuk baku yang sudah ditentukan.
b.      Kecendekiaan
Bahasa baku memiliki ciri kecendekiaan agar dapat digunakan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan modern. Ciri ini dapat dicapai dengan memperkaya kosakata dalam berbagai aspek kegiatan dan keilmuan yang tampak secara struktual.
c.       Kerasionalan
Kerasionalan bahasa tampak pada penggunaan bahasa baik di bisang kosakata maupun struktur sintaksis. Kerasionalan bahasa baku sangat tergantung pada kecendekiaan penutur untuk menyusun kalimat yang diterima secara logika.
Pada sumber lain disebutkan pula keseragaman sebagai salah satu ciri kebakuan suatu bahasa. pembakuan bahasa merupakan penentuan dan  pencarian titik keseragaman. Selain ciri-ciri di atas, Sumarsono (2004: 35—36) dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik menyebutkan beberapa ciri ragam baku:
a.    Jumlah penutur asli bahasa baku lebih sedikit dibandingkan dengan keseluruhan penutur bahasa.
b.      Ragam yang biasa diajarkan kepada orang lain yang bukan penutur asli bahasa tersebut.
c.    Ragam baku memberi jaminan kepada pemakainya bahwa ujaran yang dipakai kelak dapat dipahami oleh masyarakat luas.
d.   Ragam baku dipakai oleh kalangan terpelajar, cendekiawan, dan ilmuwan jika dikaitkan dengan bahasa nasional.
e.       Mempunyai bentuk-bentuk kebahasaan tertentu yang membedakan dengan ragam lain.
3.      Fungsi Bahasa Baku
Menurut Gravin dan Mathiot (dalam Chaer, 1995: 252—254), bahasa baku memiliki fungsi yang bersifat sosial politik, yaitu
a.    Fungsi pemersatu (the unifying function) adalah fungsi bahasa baku yang dapat menghilangkan perbedaan dan menciptakan kesatuan dalam masyarakat tutur, khususnya memperkecil perbedaan dialek dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
b.      Fungsi pemisah (separatist function) berarti bahwa bahasa baku dapat menjadi pemisah atau pembeda penggunaan ragam bahasa tersebut baik dalam situasi formal maupun situasi nonformal. Fungsi pemisah dimaksudkan sebagai fungsi yang membedakan antara bahasa baku dengan bahasa yang lain (Alwi, 2000: 15).
c.       Fungsi harga diri (prestige function) adalah fungsi bahasa baku yang dapat membuat penggunanya (pemakai bahasa baku) merasa memiliki harga diri yang tinggi daripada mereka yang tidak memakai bahasa baku, karena bahasa baku tidak dipelajari dari lingkungan hidup sehari-hari. Fungsi ini senada dengan pendapat Fishman (1970) bahwa bahasa baku mencerminkan kemuliaan, sejarah, dan keunikan seluruh rakyat. Selain itu, bahasa baku juga merupakan lambang atau simbol suatu masyarakat tutur.
d.      Fungsi kerangka acuan (frame of reference function) mengandung pengertian bahwa bahasa baku akan menjadi tolok ukur atau patokan untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Moeliono juga menyampaikan empat fungsi bahasa: fungsi pemersatu, penanda kepribadian, penanda wibawa, dan kerangka acuan.

4.        Pemilihan Ragam Baku
Menurut Moeliono, ragam bahasa yag dianggap baku adalah ujaran atau tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Akan tetapi, tidak selamanya bisa menjamin bahwa ragam bahasa yang mempunyai pengaruh luas dan wibawa besar dapat diteladani. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk meilih sebuah bahasa menjadi ragam bahasa baku:
a.       Dasar otoritas adalah penentuan baku atau tidak baku berdasarkan pada kewenangan orang yang dianggap ahli atau pada kewenangan buku tata bahasa atau kamus. Akan tetapi, pemakaian dasar ini harus memperhatikan kesessuaian pemikiran dan kaidah-kaidah dalam tata bahasa atau kamus dengan keadaan zaman.
b.      Dasar bahasa penulis-penulis terkenal adalah pembakuan bahasa yang berdasarkan bahasa dyang digunakan oleh para penulis terkenal. Pemakaian dasar ini juga patut mempertimbangkan kesesuaian bahasa yang digunakan dengan keadaan sekarang. Selain itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa penulis-penulis terkenal telah menguasai aturan tata bahasa dengan baik. 
c.       Dasar demokrasi adalah menentukan bahasa yang baku atau tidak baku dengan menggunakan data statistik untuk mengetahui frekuensi penggunaannya. Bahasa yang frekuensinya paling banyak akan dianggap bahasa yang paling benar/baku, demikian sebaliknya. Penggunaan dasar ini juga menimbulkan masalah  keakuratan data statistik yang tidak dapat menentukan kebakuan suatu bahasa.
d.      Dasar logika, maksudnya adalah dalam penentuan baku ataupun tidak baku digunakan pemikiran logika, bisa diterima akal atau tidak. Tampaknya dasar logika tidak dapat digunakan untuk menentukan kebakuan bahasa, sebab seringkali benar dan tidak benar struktur bahasa tidak sesuai dengan pemikiran logika.
e.       Dasar bahasa orang-orang terkemuka dalam masyarat. Maksudnya penentuan baku atau tidaknya suatu bentuk bahasa didasarkan pada bahasa orang-orang terkemuka seperti pemipin, wartawan, pengarang, guru dan sebagainya. Menurut Baradja penentuan baku atau tidaknya suatu bentuk bahasa indonesia, barangkali dapat menggunakan dasar kelima ini yang digabungkan dengan dasar pertama yaitu dasar otoritas.
Dalam menetapkan suatu ragam bahasa menjadi bahasa baku, ada tiga hal yang menjadi pedoman, yaitu
a.       Dasar keserasian: bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun lisan.
b.      Dasar keilmuan: bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
c.       Dasar kesastraan:  bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan perencanaan bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa, bahasa dipilih dan ditentukan salah satu dari sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan bahasa, bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut
Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai sarana, yaitu
a)      Pendidikan : pendidikan sebagai situasi formal bukan hanya membutuhkan penggunaan bahasa baku, tetapi juga merupakan tempat untuk menyebarluaskan pengembangan dan penyebaran bahasa baku.
b)      Industri Buku : industri buku juga sangat penting dalam penyebaran dan pengembangan bahasa baku, sebab melalui bukulah ragam bahasa baku dapat ditampilkan
c)      Perpustakaan : adanya perpustakaan dengan jumlah buku yang tersedia cukup banyak akan mempercepat proses pembakuan bahasa. penyebaran dan pengembangan bahasa baku tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perpustakaan.
d)     Administrasi Negara : kelangsungan eksistensi bahasa baku dapat terjamain dengan adanya administrasi negara yang rapi, tertib dan teratur. Admistrasi negara yang tidak teratur akan merusak kelangsungan eksistensi bahasa baku.
e)      Media massa : tersedianya media massa baik tulis maupun elektronik akan menjamin tercapainya pembakuan bahasa dengan lebih luas.
f)       Tenaga : pembakuan bahasa juga memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebahasaan. Tiadanya atau kurangnya tenaga kebahasaan ini akan menyulitkan proses pembakuan bahasa.
g)      Penelitian : tanpa adanya penelitian yang terus menerus di bidang kebahasaan, usaha pengembangan dan pembakuan bahasa tidak akan mencapai kemajuan.

5.      Bahasa Indonesia baku
Ketika kita telah memilih satu ragam bahasa Indonesia untuk dijadikan ragam baku dan mengusahakan agar ragam bahasa tersebut mempunyai ciri kemantapan yang dinamis, kecendekiaan, kerasionalan, maka pembakuan itu harus diterapkan kepada semua tataran tingkat bahasa, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Usaha mengelola ragam bahasa tersebut harus dilakukan secara kontinu selama bahasa itu digunakan.
Fonem-fonem dalam bahasa Indonesia telah ditentukan keberadaannya, tetapi lafal atau pengucapan bahasa Indonesia belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Dalam hal ini, lafal para penyiar RRI dan TVRI telah dianggap sebagai lafal baku bahasa Indonesia.
Ejaan dalam bahasa Indonesia telah dilakukan pembakuan. Pembakuan ejaan ini dimulai dari penetapan ejaan Van Ophuijsen (1901), dilanjutkan dengan perbaikan yang dikenal dengan ejaan Suwandi atau ejaan Republik (1974), dan disempurnakan dengan penetapan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) pada tahun 1972. Dalam ejaan diatur cara menggunakan huruf, cara penulisan kata dasar, kata ulang, kata gabung, cara penulisan kalimat, dan cara penulisan unsur-unsur serapan.
Nonbaku
Baku
Nonbaku
Baku
Nonbaku
Baku
Akhli
Atlit
Cuman
Esensiil
Frekwensi
Hapal
Himbau
Himpit
Nopember
Ahli
Atlet
Cuma
Esensial
Frekuensi
Hafal
Imbau
Impit
November
Akwarium
Beaya
Atmosfir
Cabe
Ekstrim
Halangan
Hempas
Hutang
Biadap
Akuarium
Biaya
Atmosfer
Cabai
Ekstrem
Alangan
Empas
Utang
Biadab
Perangko
Konggres
Merubah
Halangan
Do’a
Kaedah
Komplek
Metoda
Nasehat
Prangko
Kongres
Mengubah
Alangan
Doa
Jadwal
Kompleks
Metode
Nasihat

Pembakuan tata bahasa dalam bahasa Indonesia sudah dilakukan dengan diterbitkannya buku tata bahasa yang diberi nama Tata Bahasa Baku Indonesia.  Pembakuan bidang kosakata dan peristilahan dalam bahasa Indonesia telah lama dilakukan yang dilakukan dengan mempertimbangkan: ejaan, lafal, bentuk, dan sumber pengambilan. Dilihat dari segi sumbernya, istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang diambil dapat bersumber dari (1) kosakata bahasa Indonesia (baik yang lazim maupun tidak), (2) kosakata bahasa serumpun, dan (3) kosakata bahasa asing.
Kata bahasa Indonesia, khususnya kata umum, baik yang lazim maupun yang tidak lazim dapat menjadi bahan istilah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat diterima menjadi bahan istilah, yaitu kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan; kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama; kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik).
Seandainya dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka akan dicari istilah dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim. Istilah tersebut setidaknya adalah kata yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan. Bahasa baku seringkali harus meminjam unsur leksikal dari kosakata tidak baku, karena memang diperlukan. Peminjaman tersebut bisa dilakukan jika memang diperlukan, karena belum ada padanan katanya dalam kosakta bahasa baku. Akan tetapi, jika dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan  menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.
Sehubungan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, serta adanya pembakuan bahasa, Halim (dalam Chaer, 1995) menyatakan perlu dibedakan antara ragam baku lisan dan ragam baku tulis. Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai denngan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah telah mendahulukan ragam baku tulis dengan menerbitkan masalah ejaan bahasa Indonesia yang tercantum dalam buke Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Pembentukan Istilah, dan Pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Selain ragam baku tulis, ragam baku lisan juga dimasyarakatkan. Berbeda dengan ragam baku tulis, ragam baku lisan penanganannya sangat sulit, karena umumnya para penutur bahasa Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Aibatnya, pengaruh bahasa pertama,baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun logat atau dialek akan terjadi bila ia bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Seseorang dikatakan menggunakan ragam baku lisan apabila ia dapat meminimalkan atau menghilangkan ragam daerah dalam tuturan.
Artinya, bila ia berbicara maka orang lain tidak dapat mengidentifikasi secara linguistik dari mana ia berasal.
Bahasa baku, baik dalam ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah atau disebut pula bahasa tinggi sehingga ragam tinggi sering dikaitkan penggunaannya dengan kaum terpelajar. Bahasa kaum terpelajar memiliki ciri perbedaan lafal yang sangat menonjol jika dibandingkan dengan bahasa kaum nonpelajar. Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang membedakan ragam bahasa baku  dengan ragam bahasa nonbaku bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen.
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, dalam bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama–dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur, yaitu jalur sekolah dan jalur  luar sekolah.
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam usaha pembinaan lafal baku pada dunia pengajaran.
a.       Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya.
b.      Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian timur, vokal /E/ cenderung dengan E taling.
c.       Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku.
Lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Di berbagai belahan di dunia, acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Pemberian model lafal yang baik kepada masyarakat perlu memperhatikan hal-hal berikut.
a.       Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
b.      Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
Persatuan yang kuat hanya bisa tercipta kalau ada bahasa yang digunakan bersama dengan pemahaman yang sama. Meskipun begitu, upaya pembakuan lafal hendaklah dilakukan secara hati-hati karena lafal lebih peka terhadap sentimen sosial. Upaya pembakuan lafal selama ini dapat dipertahankan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran kita sebagai pemodel lafal.





Sumber Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Hasan Alwi, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar